Latest Posts

Rabu, 15 Maret 2017

ABU NAWAS SELAMAT DARI AMARAH ISTRI

SELAMAT DARI AMARAH ISTRI

Diam-diam, ternyata Abu Nawas memiliki istri yang pencemburu. Pada saat Abu Nawas sering pulang larut malam, ia selalu marah-marah. Pada suatu hari, Abu Nawas keluar rumah hingga larut malam. Hal itu membuat istrinya merasa gelisah dan emosi karena sudah berjam-jam menunggu di rumah. Ia pun tidak bisa tidur gara-gara Abu Nawas yang masih dalam tanda tanya. Bahkan istri Abu Nawas sudah menyiapkan suatu rencana untuk memarahi Abu Nawas ketika dia pulang nanti.

Waktu pun sudah menunjukkan larut malam, begitu gelap, namun Abu Nawas tetap saja tak kunjung kembali pulang. Tiba-tiba saja, dalam kondisi yang seperti itu, terdengar suara seperti orang yang hendak masuk dari jendela rumah yang terbuat dari kayu. Mendengar suara itu, istri Abu Nawas pun langsung siap siaga untuk melancarkan aksinya.

Dipukul dengan kayu Ia menuju jendela sambil memegang sepotong kayu berukuran lumayan besar. Ia berfikir bahwa Abu Nawas sengaja masuk rumah melalui jendela karena takutdidamprat istrinya. Tak lama kemudian, masuklah seseorang melalui jendela yang ukurannya relatif kecil.

Dalam kondisi yang gelap, wajah orang tersebut tak kelihatan.
Akan tetapi istri Abu Nawas yang sudah tersulut emosinya langsung saja memukulkan kayu ke orang tadi. Ia memukul secara membabi buta hingga membuat orang yang dikiranya suaminya itu jatuh tak berdaya.

"Ampun... Ampun...," ujar orang tersebut.
Tentu saja karena pukulan yang membabi buta yang dilakukan istri Abunawas tersebut membuat orang tadi terkapar di lanatai. Istri Abu Nawas pun merasa sangat puas dengan tindakannya ini. Ia menganggap bahwa tindakannya setimpal atas kesalahan suaminya, si Abu Nawas.
"Ayo cepat bagun, lain kali jangan diulangilagi dengan pulang larut malam," kata istri Abu Nawas dengan nada membentak.

Eiit...setelah ditunggu beberapa menit, orang tersebut tak juga bangkit-bangkit. Maka mulailah istri Abu Nawas menjadi penasaran. Dalam pencahayaan yang kurang, ia mencoba melihat dengan seksama orang yang dipukulnya tadi.

Betapa kagetnya istri Abu Nawas, ternyata orang itu bukan suaminya. Ia takmengenali wajah orang yang dipukulinya. Dalam kondisi itu, istri Abu Nawas menyebut orang itu sebagai seorang pencuri dan berteriak dengan keras.
"Ada pencuri...tolong...toloong...," teriak istri Abu Nawas.
Kontan saja teriakan istri Abu Nawas tersebut membuat para warga berhamburan keluar untuk menangkap pencuri. Tak lama kemudian, beberapa warga pergi ke rumah Abu Nawas. Mereka lantas meringkus pencuri yang sudah tidakberdaya di lantai.

Ikut Bangga dan Bersyukur Para warga pun merasa kaget melihat kejadian itu. Ada seorang pencuri yang ditaklukkan oleh seorang wanita. Pencuri itu babak belur terkena pukulan dari istri Abu Nawas.
"Wah, hebat sekalai, pencuri ini sampai terbaring tak berdaya di lantai. Mungkin butuh berminggu-minggu agar bisa pulih kembali," kata salah satu warga.

"Maaf Pak, saya tak bermaksud menyakitinya, apalgi sampai separah itu. Hanya kekeliruan saja, Pak," kata istri Abu Nawas.
"Keliru bagaimana" tanya warga.
"Waktu itu, ia masuk melalui jendela dapur. Dan saya kira suami saya yang baru pulang berpesta dengan teman-temannya, makanya langsung saya gebuk," jelas istri Abu Nawas.
Tak berapa lama kemudian, Abu Nawas pun datang ditengah-tengah mereka.
Setelah mendengar cerita tentang seorang pencuri yang babak belur dihajar istrinya, ia pun tersenyum kecil dan bersyukur.
"Untung saja bukan saya yang dihajar, makanya jangan main pukul, beginalah akibatnya," kata Abu Nawas.
Namun demikian, Abu Nawas cukup bangga dengan keberanian istrinya yang sanggup melumpuhkan seorang pencuri..


ABU NAWAS MEMBALAS TIPUAN SANG HAKIM

MEMBALAS TIPUAN SANG HAKIM
Pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid, ada seorang hakim yang baru saja diangkat. Hakim ini terkenal zalim, dan kezalimannya itu ditampakkan ketika ada seorang pemuda Mesir datang ke Baghdad untuk berdagang dengan membawa harta yang sangat banyak.

Pada suatu malam, pemuda ini bermimpi telah menikah dengan seorang wanita, yang mana wanitanya adalah anak dari seorang hakim dimana si pemuda membawa mahar (mas kawin) yang sangat banyak. Mimpi tersebut lantas diceritakan ke banyak orang sehingga sampailah berita mimpi itu ke telinga sang hakim.

Hakim langsung saja mendatangi pemuda Mesir itu serta meminta mahar untuk anaknya. Tentu saja pemuda itu menolaknya karena pernikahannya hanya berdasarkan mimpi saja. Namun Sang Hakim tersebut tetap saja arogan dan memintanya. Sang Hakim bahkan merampas semua harta pemuda Mesir itu hingga membuat pemuda itu menjadi miskin, bahkan si pemuda menjaqdi pengemis. Untung saja tak lama setelah itu dia ditolong oleh seorang wanita tua.

Tidak terima dengan perlakuan Sang Hakim, wanita tua itu pun membawa pemuda Mesir kepada Abu Nawas untuk mengadu. Begitu mendapat pengaduan, Abunawas langsung saja mengambil tindakan. Ia mengajak semua murid yang diajarinya untuk datang malam hari dengan membawa kapak, cangkul, martil dan batu.

Dengan Arahan Abu Nawas, murid-muridnya pun langsung bergerak ke arah tuan hakim. Mereka seperti demonstran yang berteriak-teriak lalu menghancurkan rumah hakim itu sesuai dengan perintah. Melihat peristiwa itu, sang hakim pun keluar rumah dengan marah-marah dan bertanya,
"Siapa yang menyuruh kalian melakukan semua ini?"
Mereka pun menjawab," Guru kami, Syeikh Abu Nawas."

Melaksanakan Perintah Mimpi Tidak terima dengan ulah murid-murid Abu Nawas, hakim itu melaporkan Abu Nawas ke Baginda Raja pada keesokan harinya. Pada pagi harinya, Abu Nawas dipanggil oleh Raja untuk menghadap.

"Wahai Abu Nawas, mengapa kamu merusak rumah hakim?" tanya Baginda.
"Wahai Tuanku, itu semua karena hamba bermimpi, dan dalam mimpi itu justru Tuan hakim sendiri yang menyuruh hamba untuk merusak rumahnya," jawab Abu Nawas.

Baginda Raja merasa aneh dengan jawaban itu, dan bertanya,
"Wahai Abu Nawas, hukum mana yang kamu pakai itu?"
"Dengan tenangnya Abu Nawas menjawab,
"Hamba memakai hukum yang juga dipakai Tuan hakim yang baru jadi ini, Baginda."
Mendengar penuturan yang singkat itu, sang hakim pun menjadi pusat pasi serta terdiam seribu bahasa.

"Wahai hakim, benarkah kamu juga mempunyai hukum itu?" tanya Baginda.
Sang Hakim hanya terdiam saja ditanya Baginda, sehingga Baginda Raja meminta penjelasan dari Abu Nawas.

"Hai ABu Nawas, coba jelaskan kenapa ada peristiwa seperti ini?" tanya Baginda.
Abu Nawas lantas menyuruh masuk pemuda Mesir itu untuk memberikan kesaksian.
"Wahai Anak Mesir, ceritakan apa yang sebenarnya terjadi sejak engkau datang ke negeri ini?" tanya Baginda.

Pemuda itu pun menceritakan penderitaan yang dialaminya akibat kezaliman Sang Hakim.
Setelah si pemuda selesai bercerita, Baginda Raja langsung murka dengan adanya kebobrokan sikap hakim yang baru saja diangkatnya itu. Baginda Raja lantas merampas semua harta sang hakim dan diberikannya kepada pemuda Mesir itu.

Wah, salut deh dengan Abu Nawas yang berani melawan ketika ada ketidak beresan di negerinya. Semoga saja di Indonesia ini ada orang-orang yang berani layaknya sikap Abu Nawas yang menentang kezaliman yang semakin merajalela di tingkat pemerintahan.

Senin, 19 September 2016

RADIKALISME AGAMA BUKANLAH JIHAD

RADIKALISME AGAMA BUKANLAH JIHAD
Oleh: Ust. Ahmad Fajar Inhad, Lc.



        Saat kita mendengar seseorang meneriakkan kalimat "Jihad" maka yang terbesit dalam benak kita adalah kekerasan, pemaksaan hak dan hal-hal yang cenderung negatif dan menyeramkan. Apalagi jika kalimat "Jihad" di barengi dengan teriakan takbir, saya yakin anda semua akan terbawa suasana horor dan adegan pertumpahan darah. Apakah memang demikian "Jihad" yang di ajarkan oleh Islam dan di praktekkan oleh Rasulullah SAW?, atau jangan-jangan "Jihad" sudah menjadi kamuflase sebagian oknum untuk menghancurkan Islam.

        "Jihad" adalah kalimat suci dan mulia dalam agama kita, bahkan Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya menyebut bahwa "Jihad adalah puncak agama Islam". Sayangnya pemahaman sepotong-potong konsep Jihad "memaksa" asumsi kita untuk menarik kesimpulan bahwa "Jihad adalah melulu perang fisik". Padahal jika kita telaah lebih detail ayat-ayat al-Qur'an, ada beberapa ayat yang memerintahkan umat Islam untuk ber-Jihad saat mereka berada di Mekah. Dimana notabene umat Islam di Mekah kala itu adalah minoritas yang tertindas. Jadi, jika Jihad "hanya" di artikan perang fisik, maka pertanyaannya adalah "Mungkinkah Allah SWT memerintahkan minoritas umat Islam di Mekah untuk melakukan perlawanan fisik kepada musuhnya yang notabene adalah mayoritas?". Saya yakin anda sepakat bahwa upaya "Jihad fisik" itu adalah perbuatan ceroboh dan tindakan bunuh diri. Fakta ini bisa kita temukan pada firman Allah SWT dalam surat al-Furqan ayat 52 yang artinya "Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Qur'an dengan jihad yang besar". (TQS. al-Furqan : 52).


         Jika anda membuka buku-buku Tafsir, maka anda akan menemukan fakta bahwa ayat ini adalah Makkiyah (baca : ayat yang di turunkan sebelum nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah). Ayat ini menjelaskan kepada kita tentang konsep Jihad yang di lakukan oleh Rasulullah SAW saat beliau di Mekah. Konsep Jihad yang saya maksud adalah "Jihad dengan al-Qur'an". Apa itu "Jihad dengan al-Qur'an"?, adalah memerangi kebatilan dengan argumentasi yang bersumber dari wahyu Allah SWT yang tertuang dalam al-Qur'an, atau dengan bahasa yang lebih simpel di sebut dengan "Dakwah". Lalu kenapa Dakwah di kategorikan "Jihad yang besar"?, Dr. Wahbah Zuhaily dalam tafsir Munir-nya menjelaskan bahwa "Jihad menggunakan argumentasi yang bersumber dari ajaran al-Qur'an menghadapi orang-orang bodoh itu lebih mulia di bandingkan jihad dengan menggunakan pedang (baca : kekerasan)". Itulah embrio Jihad yang di praktekkan oleh Nabi Muhammad SAW selama berada di Mekah dan menjadi pondasi vital perkembangan Islam ke depan.

       Realita di atas senada dengan kandungan sebuah hadits Marfu' yang di riwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah dari sahabat Abu Sa'id al-Khudry, beliau Rasulullah SAW bersabda yang artinya "Sesungguhnya termasuk model Jihad yang paling agung adalah kalimat (argumentasi) adil (benar atau amar ma'ruf nahi munkar) yang di ucapkan di hadapan seorang pemimpin yang lalim".

        Dalam hadits ini beliau Rasulullah SAW tidak menggunakan kalimat pedang, perang fisik dan sinonim lainnya yang bertemakan kekerasan. Rasulullah SAW menggunakan redaksi "Kalimah" yang berarti ucapan atau argumentasi. Jika demikian lalu darimana konsep "Jihad adalah perang fisik" berasal?. Konsep ini berasal dari pemahaman "salah kaprah" tentang konsep Jihad pasca hijrah nabi ke Madinah. Kita semua tahu bahwa hampir seluruh perang fisik yang di lakoni oleh Rasulullah SAW terjadi pasca berdirinya negara Islam di Madinah (Hingga saat ini fenomena Negara Islam Madinah masih menjadi perdebatan di kalangan Ulama, ada sebagian yang berpendapat bahwa saat beliau nabi Muhammad SAW di Madinah beliau mendirikan Negara Islam, tetapi ada juga yang tidak sepaham  dan mengatakan Madinah bukan negara islam, tetapi Negara Sipil atau negara Madani atau Daulah Madaniyah).

        Tetapi tak jarang kita melupakan realita bahwa "Peperangan yang terjadi adalah dalam rangka melindungi kedaulatan negara yang di pimpin oleh Rasulullah SAW". Dengan bahasa yang lebih lugas kebijakan perang fisik di lakukan sebagai upaya defensif atau protektif bukan ofensif, karenanya sebuah kesalahan fatal jika "Jihad di artikan agresi atau invansi militer" ke negara-negara dengan mayoritas non muslim, atau bahkan negara berpenduduk Islam.

        Dalam sebuah potongan hadits riwayat Imam Ahmad (hadits nomor 18406) dari sahabat Nu'man bin Basyir RA, Rasulullah SAW menyampaikan bahwa "Nubuwwah (kenabian) akan menjadi sistim (pemerintahan) kalian semua, kemudian sistim ini akan di angkat oleh Allah (berakhir) dan datang setelahnya sistim Khalifah yang menganut metode kenabian...".

     Hadits ini menjelaskan bahwa Khalifah (yang merupakan muara dari Jihad) dan cara untuk menggapainya haruslah sesuai dengan metode  kenabian (baca : Dakwah Islam) yaitu Hikmah (Bijaksana), dan Mujadalahbillati-Hiya-Ahsan (Dialog dengan mengedepankan argumen yang baik dan sesuai dengan kemampuan audiens). Lalu darimana "mereka" mendapat pemahaman bahwa "Jihad adalah perang fisik dan memerangi orang-orang tidak berideologi sama"?, saya khawatir ini adalah produk impor dari luar Islam yang bertujuan untuk menghancurkan umat Islam dari dalam tubuh umat Islam sendiri (Filosofi duri dalam daging).

      Indonesia dengan kemajemukannya menyimpan "bom waktu" yang bisa meledak sewaktu-waktu. Bom waktu yang saya maksud adalah banyaknya aliran penganut radikalisme agama. Meskipun keberadaan mereka menjadi ancaman, tetapi kita tidak boleh over reactive menyikapi mereka. Pemerintah dan masyarakat harus merumuskan cara efektif menanggulangi aliran radikal yang menyebar secara efektif di tengah masyarakat. Kita tidak boleh menjadi seperti "pemadam kebakaran", bereaksi ketika ada paham yang radikal. Karena reaksi "spontan" ini tidak akan menghilangkan akar permasalahan, harus ada aksi penanggulangan secara fundamental dan komprehensif.

       Salah satu aliran radikal yang saat ini menjadi isu hangat adalah IS (kepanjangan dari Islamic State atau negara Islam, yang merupakan metamorfosis dari ISIS). Jika kita meruntut sejarah pergerakan aliran radikal di Indonesia, maka kita akan menemukan kemiripan antara IS dengan gerakan-gerakan radikal yang sudah ada di Indonesia. Maka tidak salah jika di katakan "IS adalah old product new brand (produk lama dengan kemasan baru)". Berbagai pertemuan dan kebijakan di ambil untuk menghentikan penyebaran IS di Indonesia. Sayangnya, kebanyakan langkah yang di ambil cenderung bersifat statmen tentang bahaya dan ancaman gerakan ini bagi NKRI. Kita lupa bahwa cara yang demikian hanya akan membuat kita "kelelahan" berhadapan dengan mereka. Kenapa?, karena mereka punya kemampuan berkamuflase. Saat model yang ini gagal dan tidak di terima oleh publik, maka mereka akan melakukan modifikasi dan merubah chasing produk mereka. Jadi solusi yang tepat adalah dengan "tidak terfokus pada kemasan luar saja, tetapi harus menyentuh esensi gerakan ini".

      Upaya yang saya maksud adalah dengan mensosialisasikan gerakan "Islam Rahmat Bagi Seluruh Alam", melalui gerakan ini kita kenalkan soft power Islam, dan juga tidak lupa kita ajak masyarakat untuk memahami dan mengamalkan konteks Jihad secara aktual dan sesuai dengan perkembangan jaman. Simpelnya marilah kita lakukan upaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran beragama yang menyeluruh dalam diri masyarakat kita, sehingga mereka memiliki self defense (mampu bertahan sendiri tanpa harus menunggu fatwa dan larangan dari pihak terkait) sehingga tidak terjebak dalam permainan dan kamuflase musuh Islam.

Wallahu a'lam...


Senin, 18 Juli 2016

Kisah yang penuh hikmah dari KH. M.Arwani Amin Kudus


Sebuah kisah nyata yang dapat kita ambil hikmahnya datang dari seorang kyai Arwani (alm. Allahummaghfirullah).Beliau merupakan sosok kyai kharismatik yang terkenal dengan hafalan Qur’annya. Pesantren yang diasuhnya adalah Yanbuul Qur’an di Kudus, merupakan salah satu pesantren yang menjadi kiblat para hafidz dan hafidzah di Indonesia. Suatu hari, beliau bepergian bersama santrinya. Ketika beliau sampai di terminal Terboyo Semarang, tiba-tiba Kyai Arwani dicopet. Entah apakah beliau sudah tahu atau memang pura-pura tidak tahu. Yang jelas, beliau tidak memperdulikan jika baru saja beliau kecopetan. Santri yang mendampingi kyai Arwani sontak kaget dengan kejadian pencopetan itu, detik itu juga santrinya mengejar pencopet itu seraya meneriakinya. “Copeeet…!!! Copeet…!!!,” teriak si santri. Karena teriakan tersebut, suasana menjadi gaduh dan orang-orang yang ada di sekelilingnya juga ikut mengejar pencopetnya. Namun sayangnya, pencopet itu sungguh lincah dan sepertinya sudah menguasai medan hingga gagal untuk ditangkap. Para santri yang bersama beliau marah-marah kepada pencopet dengan ekspresi kecewa.

‘Berani-beraninya pencopet itu mengganggu kyai saya,’begitulah kira-kira pikir mereka. Si copet juga tidak lihat-lihat kalau yang dicopet adalah kyai.Dan betul, si copet tidak akan peduli tentang hal itu. Yang dipikirkan pencopet adalah bagaimana mendapat uang, uang dan uang. Bagi seorang copet, siapa saja yang pegang uang pasti akan dijadikan sasaran.

Yang mengherankan, Kyai Arwani tidak peduli dengan apa yang telah terjadi. Seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa pada dirinya. Beliau bahkan tenang-tenang saja, hanya sibuk dengan dzikirnya. Melihat itu, si santri menghampiri dan memberi tahu kepada Kyainya bahwa baru saja ada copet yang telah mengambil dompetnya.

“Kyai,Njenengan baru saja kecopetan!,”kata santrinya dengan nada tergesa-gesa dan memberitahu.
“Oh, ya?,” jawab Kyai tenang-tenang saja.
“Benar, Kyai. Tapi kami gagal menangkapnya! Keterlaluan betul pencopet itu!”
“Alhamdulillah… Sudahlah kalian tidak perlu ribut-ribut. Saya bersyukur, yang dicopet itu saya!,” kata kyai 
masih dengan raut yang tenang.
“Apa maksudnya Kyai?,” tanya santri makin heran.
“Syukur… syukur… Alhamdulillah.Karena saya yang dicopet, bukan saya yang jadi pencopetnya!”
“Kok bisa begitu Kyai?” si santri bingung.
“Sekarang apa jawab kalian jika aku tanya, lebih baik mana, menjadi orang yang dicopet atau menjadi 
tukang copetnya?”

Jawaban Kyai sungguh benar, masuk akal. Nuansa zuhud dan kesufian tergambar dari ucapan-ucapan Kyai. Para santri yang menyertai beliau pada geleng-geleng kepala tanda paham dan takjub. Para santripun mendapat pelajaran berharga yang belum pernah mereka jumpai dalam teori.

Ternyata, dalam musibahpun dapat timbul rasa syukur, seperti yang sudah dicontohkan Kyai Arwani. Kisah nyata ini sungguh membuat kita tersenyum dan juga mendapat banyak hikmah di dalamnya. Subhanallaah… Betapa bersyukur itu tidak hanya ketika kita mendapatkan sesuatu. Namun, seperti yang telah dicontohkan Kyai Arwani di atas bahwa bersyukur pun dapat dilakukan ketika kita kehilangan sesuatu.

Semoga dengan ini, kita dapat menjadi manusia yang zuhud dengan selalu ingat bahwa semuanya adalah dari Allah SWT dan pada akhirnya juga akan kembali pada Allah SWT. Akhirnya, Semoga bermanfaat.

Sumber: kabarmakkah.com  

Minggu, 19 Juni 2016

Rasulullah mencintai bangsa Indonesia

Tatkala salah satu guru Prof. DR. al-Muhaddits as-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dan Al-'Allamah al-'Arif billah Syaikh Utsman bersama rombongan ulama lainnya pergi berziarah ke makam Rasulullah SAW, tiba-tiba beliau diberikan kasyaf (tersingkapnya hijab) oleh Allah SWT dapat berjumpa dengan Rasulullah SAW.

Di belakang Nabi Muhammad SAW sangat banyak orang yang berkerumunan. Ketika ditanya oleh guru as-Sayyid Muhammad al-Maliki itu:

 “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang itu?” 

Rasulullah SAW pun menjawab:

 “Mereka adalah umatku yang sangat aku cintai.”

Dan di antara sekumpulan orang yang banyak itu ada sebagian kelompok yang sangat banyak jumlahnya. Lalu guru as-Sayyid Muhammad al-Maliki bertanya lagi: 

Ya Rasulullah, siapakah mereka yang berkelompok sangat banyak itu?

Rasulullah SAW kemudian menjawab: 

Mereka adalah bangsa Indonesia yang sangat banyak mencintaiku dan aku mencintai mereka.
Akhirnya, guru as-Sayyid Muhammad al-Maliki itu menangis terharu dan terkejut. Lalu beliau keluar dan bertanya kepada jama’ah:
Mana orang Indonesia? Aku sangat cinta kepada Indonesia.”
Bukti kecintaan as-Sayyid Muhammad al-Maliki kepada orang Indonesia adalah dengan membangunkan pesantren khusus untuk orang Indonesia di Makkah. Dan beliau sangat senang dan bahagia apabila ada orang/ulama Indonesia yang menyempatkan bersilaturrahim di rumahnya. 

Bahkan beliau sering memberikan buah tangan (hadiah) kepada orang/ulama Indonesia yang bersilaturrahim tersebut. 

(Dikutip dari ceramah Syaikh KH. Muhyiddin Abdul Qadir al-Manafi).

Jumat, 17 Juni 2016

Jumlah rakaat Sholat Tarawih menurut Imam 4 Madzhab


Menurut pendapat jumhur ulama yaitu mazhab Hanafi, Syafi’e dan Hanbali, shalat sunnah Tarawih itu ada 20 raka’at (selain shalat witir). Ini berdasarkan ijtihad Sayyidina Umar bin Khattab. 

Menurut mazhab Maliki justru malah ada 36 rakaat, atas dasar ijtihad Khalifah Umar bin Abd al-Aziz. Imam Malik dalam beberapa riwayat memfatwakan 39 raka’at (Lihat dalam Nail al-Author, 3/289). Walau begitu, pendapat yang masyhur ialah pendapat jumhur, yakni 20 rakaat. Bahkan Ibnu Taymiyah juga mengikuti pendapat jumhur ini. Berikut rincian pendapat imam madzhab empat tentang tarawih: 
.
1) Mazhab Hanafi

Syaikh As-Sarakhsi menyebutkan:

إِنَّهَا عِشْرُونَ رَكْعَةً سِوَى الْوِتْرِ عِندَنَا، وَقَالَ مَالِكٌ: اَلسُّنَّةُ فِيهَا سِتَّةٌ وَثَلاَثونَ

“Sesungguhnya ia (Tarawih) 20 rakaat selain Witir di sisi kami, dan Malik berkata: sunnah padanya 36 rakaat.”(Al-Mabsuth, As-Sarakhsi, 2/144). 

Syaikh Al-Kasani mendukung pendapat tersebut dengan mengatakan:

وَأَمَّا قَدْرُهَا فَعِشْرُونَ رَكْعَةً فِي عَشَرِ تَسْلِيمَاتٍ، فِي خَمْسِ تَروِيحَاتٍ، كُلُّ تَسْلِيمَتَيْنِ تَرْوِيحَةٌ، وَهَذَا قَوْلُ عَامَّةِ الْعُلمَاءِ

“Dan adapun kadarnya maka (ia adalah) 20 rakaat dalam 10 kali salam, 5 kali rehat, setiap 2 kali salam ada 1 rehat. Dan inilah pendapat kebanyakan ulama.”(Bada’i’ ash-Shana’i’, Al-Kasani, 1/288).

Pendapat ini didukung pula oleh Al-Allamah Ibn Abidin di dalam Hasyiahnya:

قَوْلُهُ وَهِيَ عِشْرُونَ رَكْعَةً هُوَ قَوْلُ الْجُمْهُورِ، وَعَلَيْهِ عَمَلَ النَّاسُ شَرْقًا وَغَرْبًا

“(Perkataannya: dan ia 20 rakaat) adalah pendapat jumhur, dan atas pendapat inilah orang banyak beramal di Timur dan Barat.” (Radd al-Mukhtar ‘ala Ad-Durr al-Mukhtar yang lebih dikenal dengan Hasyiah Ibn Abidin, 2/46).
.
2) Mazhab Maliki 

Apa yang masyhur dalam mazhab Maliki ialah pendapat yang mengikut jumhur (yaitu 20 rakaat). Al-Allamah Ad-Dardir berkata:

(وَالتَّرَاوِيحُ ): بِرَمَضَانَ (وَهِيَ عِشْرُونَ رَكْعَةً) بَعْدَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ، يُسَلِّمُ مِن كُلِّ رَكْعَتَيْنِ غَيْرَ الشَّفع وَالْوِتْرِ. (وَ) نَدِبَ (الْخَتْمُ فِيهَا): أَيْ اَلتَّرَاوِيحِ، بِأَن يَقْرَأَ كُلَّ لَيْلَةٍ جُزْءًا يُفَرِّقُهُ عَلَى الْعِشْرِينَ رَكْعَةً.

“(Dan Tarawih): pada bulan Ramadhan (yaitu 20 rakaat) selepas Sholat Isya’, salam pada setiap 2 rakaat selain…. Dan Witir. (Dan) Sunat (mengkhatamkan Al-Quran dalamnya): iaitu ketika Tarawih dengan cara membaca satu juzu’ pada setiap malam yang dibahagi-bahagi dalam 20 rakaat.” (Asy-Syarh ash-Shaghir, Ad-Dardir, di tepinya ada Hasyiah Al-Allamah Ash-Shawi, 1/404-405). 

Al-Allamah An-Nafrawi menyebutkan pendapat yang menguatkan pendapat jumhur ulama’ (20 rakaat) dan pengikut mazhab Maliki kembali kepada pendapat ini karena ia adalah salah satu pendapat Imam Malik sendiri. Ia berkata:

(كَانَ السَّلَفُ الصَّالِحُ) وَهُمُ الصَّحَابَةُ (يَقُومُونَ فِيهِ) فِي زَمَنِ خِلاَفَةِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ. وَبِأَمْرِهِ كَمَا تَقَدَّمَ (فِي الْمَسَاجِدَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً) وَهُوَ اِخْتِيَارُ أَبِي حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ. وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ اْلآنَ فِي سَائِرِ اْلأَمْصَارِ. (ثُمَّ) بَعْدَ صَلاَةِ الْعِشْرِينَ ( يُوتِرُونَ بِثَلاَثٍ) مِن بَابِ تَغْلِيبِ اْلأَشْرَفِ لاَ أَنَّ الثَّلاَثَ وِتْرٌ، لأَنَّ الْوِتْرَ رَكْعَةٌ وَاحدَةٌ كَمَا مَرَّ، – إِلَى أَن قَالَ – وَاسْتَمَرَّ عَمَلَ النَّاسُ عَلَى الثَّلاَثَةِ وَالْعِشْرِينَ شَرْقًا وَغَرْبًا. (ثُمَّ) بَعْدَ وَقَعَةِ الْحَرَّةِ بِالْمَدِينَةِ (صَلُّوا) أَيْ اَلسَّلَفُ الصَّالِحُ غَيْرَ الَّذينَ تَقَدَّمُوا، لأَنَّ الْمُرَادَ بِهمْ هُنَا مَن كَانَ فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ (بَعْدَ ذَلِكَ) اَلْعَدَدُ الَّذِي كَانَ فِي زَمَنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ (سِتًّا وَثَلاَثِينَ رَكْعَةً غَيْرَ الشَّفْعِ وَالْوِتْرِ) – إِلَى أَن قَالَ – : وَهَذَا اِخْتَارَهُ مَالِكٌ فِي الْمُدَوَّنَةِ وَاسْتَحْسَنَهُ. وَعَلَيْهِ عَمَلَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ. وَرَجَحَ بَعْضُ أَتْبَاعِهِ اَلأَوَّلَ الَّذِي جَمَعَ عُمَرُ بْنِ الْخَطَّابِ النَّاسَ عَلَيْهَا لاِسْتِمْرَارِ الْعَمَلِ فِي جَمِيعِ اْلأَمْصَارِ عَلَيْهِ.

“Adalah Salafus Soleh) iaitu para sahabat (mendirikan padanya) yaitu pada zaman kekhalifahan Umar bin Al-Khattab. Dan dengan arahannya seperti yang disebutkan terdahulu (untuk mendirikannya) (di masjid-masjid dengan 20 rakaat) yaitulah pendapat yang dipilih oleh Abu Hanifah, Syafi’e dan Ahmad, dan itulah yang diamalkan sekarang di seluruh tempat. (Kemudian) selepas sholat 20 rakaat (mereka mendirikan Witir dengan 3 rakaat) yaitu termasuk dalam bab melebihkan, bukanlah 3 rakaat itu dinamakan Witir, karena Witir itu 1 rakaat saja seperti yang telah dijelaskan…-sehinggal kepada perkataannya- Dan berterusanlah perbuatan orang ramai dengan 23 rakaat ini, di timur dan barat. (Kemudian) selepas berlakunya kemarau di Madinah (mereka sembahyang) yaitu ‘Salafus Soleh’ bersembahyang tidak seperti yang mereka telah dilakukan. Yang dimaksudkan ‘Salafus Soleh’ di sini ialah mereka yang berada pada masa Umar bin Abdul Aziz (selepas itu) (tidak seperti) bilangan yang telah dilakukan pada masa Umar bin Al-Khattab (yaitu dalam masa Umar bin Abdul Aziz, mereka melakukannya dengan) (36 rakaat tidak termasuk genap dan Witir) – sehinggalah kepada perkataannya-: Dan inilah yang dipilih oleh Imam Malik di dalam mudawwanah dan dia menganggap ia adalah baik (iaitu 36 rakaat itu). Dan pendapat ini menjadi pegangan penduduk Madinah. Dan sebahagian pengikut Imam Malik pendapat pertama (yaitu 20 rakaat) yang mana Umar bin Al-Khattab telah mengumpul orang ramai dengan bilangan ini agar amalan ini berterusan dilakukan di seluruh tempat.” (Al-Fawakih ad-Dawani, An-Nafrawi, 1/318-319). 

3) Mazhab Syafi’i
Para ulama’ dalam mazhab Syafi’i (Syafi’iyyah) mengistinbatkan bilangan rakaat tarawih seperti dalam beberapa qaul berikut:

1) Disebutkan di dalam Mukhtashar Al-Muzani:

أَنَّ اْلإِمَامَ الشَّافِعِيَّ رحمه الله قَالَ: رَأَيْتُهُمْ بِالْمَدِينَةِ يَقُومُونَ بِتِسْعٍ وَثَلاَثِينَ وَأَحَبَّ إِلَيَّ عِشْرُونَ لأَنَّهُ رُوِيَ عَنْ عُمَرَ وَكَذَلِكَ بِمَكَّةَ يَقُومُونَ عِشْرِينَ رَكْعَةً يُوتِرُونَ بِثَلاَثٍ.

“Sesungguhnya Imam Syafi’i berkata: Aku telah melihat mereka di Madinah mendirikan (Solat Tarawih) dengan 39 rakaat, dan aku menyukai 20 rakaat karena telah diriwayatkan dari Umar. Dan begitu juga di Makkah, mereka mendirikan 20 rakaat dan mengerjakan Witir dengan 3 rakaat.”

2) Imam Nawawi berkata di dalam Syarh al-Muhazzab:
صَلاَةُ التَّرَاوِيحِ مِنَ النَّوَافِلِ الْمُؤَكَّدَةِ كَمَا دَلَّتْ عَلَى ذَلِكَ اْلأَحَادِيثُ الشَّرِيفَةُ الْمُتَقَدِّمَةُ وَهِيَ عِشْرُونَ رَكْعَةً مِنْ غَيْرِ صَلاَةِ الْوِتْرِ، وَمَعَ الْوِتْرِ تُصْبِحُ ثَلاَثًا وَعِشْرِينَ رَكْعَةً … عَلَى ذَلِكَ مَضَتِ السُّنَّةُ وَاتَّفَقَتِ اْلأُمَّةُ، سَلَفًا وَخَلَفًا مِنْ عَهْدِ الْخَلِيفَةِ الرَّاشِدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنه وأرضاه – إِلىَ زَمَانِنَا هَذَا … لَمْ يُخَالِفْ فِي ذَلِكَ فَقِيهٌ مِنَ اْلاَئِمَّةِ اْلأَرْبعَةِ الْمُجْتَهِدِينَ إِلاَّ مَا رُوِىَ عَنْ إِمَامِ دَارِ الْهِجْرَةِ مَالِكٍ بْنِ أَنَسٍ رضي الله عنه اَلْقَوْلُ بِالزِّيَادَةِ فِيهَا، إِلىَ سِتٍّ وَثَلاَثِينَ رَكْعَةً…فِي الرِّوَايَةِ الثَّانِيَةِ عَنْهُ – مُحْتَجًّا بِعَمَلِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ فَقَدْ رُوِيَ عَن نَافِعٍ أَنَّهُ قَالَ: أَدْرَكْتُ النَّاسَ يَقُومُونَ رَمَضَانَ بِتِسْعٍ وَثَلاَثِينَ رَكْعَةً يُوتِرُونَ مِنْهَا بِثَلاَثٍ

“Shalat Tarawih termasuk di dalam sholat Nawafil yang muakkad seperti mana yang ditunjukkan oleh hadits-hadits yang mulia yang telah disebut terdahulu. Ia adalah sebanyak dua puluh rakaat selain dari sholat Witir. (Jika) bersama Witir maka ia menjadi 23 rakaat…atas jalan inilah berlalunya sunnah dan sepakat ummah, dari kalangan Salaf dan Khalaf dari zaman Khulafa’ ar-Rasyidin Umar ibn Al-Khattab, semoga Allah meridhainya dan dia meridhaiNya juga sampailah ke zaman kita ini…Tidak ada seorang pun ahli fiqih dari kalangan empat imam mazhab (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah) membantah perkara ini, melainkan apa yang diriwayatkan dari Imam Dar al-Hijrah, Imam Malik bin Anas tentang pendapat yang lebih bilangannya pada sholat Tarawih kepada 36 rakaat…Dalam riwayat kedua daripada Imam Malik, yaitu dengan hujahnya beramal dengan amalan penduduk Madinah iaitu: Sesungguhnya diriwayatkan dari Nafi’ sesungguhnya dia berkata: Aku mendapati banyak orang mendirikan Ramadhan (sholat Tarawih) dengan 39 rakaat dan mereka mendirikan Witir daripadanya sebanyak 3 rakaat…”
.
4) Mazhab Hanbali 

Al-Allamah Ibn Qudamah al-Maqdisi berkata:

وَالْمُخْتَارُ عِندَ أَبِي عَبْدِ اللهِ فِيهَا عِشْرُونَ رَكْعَةً. وَبِهَذَا قَالَ الثَّوْرِيُّ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيُّ. وَقَالَ مَالِكٌ: سِتَّةُ وَثَلاَثُونَ. وَزَعَمَ أَنَّهُ اْلأَمْرَ الْقَدِيمَ، وَتَعَلَّقَ بِفِعْلِ أَهْلِ الْمَدِينَةِ، فَإِنَّ صَالِحًا مَوْلَى التَّوْأَمَةَ قَالَ: أَدْرَكْتُ النَّاسَ يَقُومُونَ بِإِحْدَى وَأَرْبَعِينَ رَكْعَةً يُوتِرُونَ منْهَا بِخَمْسٍ.

“Dan (pendapat) yang dipilih di sisi Abu Abdullah (gelaran kepada Imam Ahmad bin Hanbal) padanya 20 rakaat. Dan inilah juga pendapat Sufyan Ath-Thuri, Abu Hanifah dan Syafi’e. Malik berkata: 36 (rakaat). Beliau mendakwa ia adalah perkara yang lama dan menghubungkan pendapatnya dengan perbuatan penduduk Madinah. Soleh maula kepada At-Tau’amah berkata: Aku mendapati orang ramai mendirikan (Sholat Tarawih) sebanyak 40 rakaat dan melakukan Sholat Witir 5 rakaat.”(Al-Mughni, 1/456).

Al-Allamah Al-Bahuti menukilkan pendapat yang dipegang dalam mazhab Hanbali dengan mengatakan:

سُمِيَتْ بِذَلِكَ لأَنَّهُمْ يَجْلِسُونَ بَيْنَ كُلِّ أَرْبَعَ يَسْتَرِيحُونَ، وَقِيلَ مَشَقَّةٌ مِنَ الْمَرَاوَحَةِ وَهِيَ التِّكْرَارُ فِي الْفِعْلِ، وَهِيَ (عِشْرُونَ رَكْعَةً فِي رَمَضَانَ) لِمَا رَوَى مَالِكٌ، عَن يَزِيدٍ بْنِ رُومَانَ، قَالَ: كَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ فِي زَمَنِ عُمَرَ فِي رَمَضَانَ بِثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ.

“Dinamakan begitu kerana mereka duduk di antara setiap 4 rakaat berehat. Dan dikatakan, kesusahan dari…. yaitu pengulangan pada perbuatan yaitu (20 rakaat pda bulan Ramadhan) mengikut apa yang diriwayatkan oleh Malik dari Yazid bin Ruman berkata: “Adalah manusia mendirikan sholat Tarawih pada zaman Umar pada bulan Ramadhan dengan dua puluh tiga rakaat.” (Riwayat Malik dalam Al-Muwaththo’, lihat Kasysyaf al-Qina’, Al-Bahuti, 1/425).
Pendapat Syaikh Ibn Taimiyyah dan Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abd al-Wahhab, Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni menyebutkan:
Syaikh Ibn Taimiyyah menyebutkan di dalam Al-Fatawa:

ثَبَتَ أَنَّ أُبَي بْنِ كَعْبٍ، كَانَ يَقُومُ بِالنَّاسِ عِشْرِينَ رَكْعَةً فِي رَمَضَانَ وَيُوَتِّرُ بِثَلاَثٍ فَرَأَى كَثِيرٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ أَنَّ ذَلِكَ هُوَ السُّنَّةُ لأَنَّهُ قَامَ بَيْنَ الْمُهَاجِرِينَ وَاْلاَنصَارِ وَلَمْ يُنكِرُهُ مُنكِرٌ.

“Telah thabit sesungguhnya Ubay ibn Ka’ab telah mendirikan (sholat Tarawih) bersama mayoritas jama’ah sebanyak 20 rakaat pada bulan Ramadhan dan dia sholat Witir dengan 3 rakaat. Maka banyak orang melihat perbuatan itu adalah sebagai sunnah karena bahwasanya dia mendirikannya di antara sahabat dari Muhajirin dan Anshar dan tidak ada seorangpun yang mencegahnya.”
Adapun bagi mereka yang menjalankan tarawih 11 raka’at dengan nash hadist..

أَنَّهُ صلى الله عليه وسلم خَرَجَ مِن جَوْفِ اللَّيلِ لَيَالِي مِن رَمَضَانَ وَهِيَ ثَلاَثُ مُتَفَرِّقَةٌ: لَيْلَةُ الثَّالِثِ وَالْخَامِسِ وَالسَّابِعِ وَالْعِشْرِينَ، وَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ، وَصَلَّى النَّاسُ بِصَلاَتِهِ فِيهَا، وَكَانَ يُصَلِّي بِهِمْ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ، وَيُكَمِّلُونَ بَاقِيهَا فِي بُيُوتِهمْ

“Rasulullah SAW keluar untuk sholat malam di bulan Ramadhan sebanyak tiga tahap: malam ketiga, kelima dan kedua puluh tujuh untuk sholat bersama umat di masjid. Rasulullah SAW shalat bersama mereka sebanyak delapan rakaat, dan kemudian mereka menyempurnakan baki sholatnya di rumah masing-masing.”

Jumlah 11 rakaat tidak boleh dijadikan hujah untuk jumlah rakaat Sholat Tarawih karena Rasulullah SAW hanya sholat berjamaah bersama sahabat 2 atau 3 kali saja di masjid dan setelah itu Baginda Nabi SAW dan para sahabat menyambung sholat malam di rumah masing-masing.

Hadits shalat Tarawih hanya 8 rakaat (menjadi 11 rakaat termasuk 3 rakaat Witir) karena merujuk kepada hadits dari Sayyidatuna ‘Aisyah:

مَا كَانَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَزِيْدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشَرَةَ رََكْعَةً، يُصَلِّى اَرْبَعًا فَلاَ تَسْـأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُوْلِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا، فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوْتِرَ؟ فَقَالَ: يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامُ وَلاَ يَنَامُ قَلْبِي.

“Tidaklah Rasulullah SAW menambah pada bulan Ramadhan dan tidak pula pada bulan lainnya lebih sebelas rakaat. Baginda SAW sembahyang empat rakaat dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian Baginda SAW sembahyang empat rakaat dan jangan kamu tanya tentang bagus dan panjangnya. Kemudian Baginda SAW sembahyang tiga rakaat. Kemudian aku (‘Aisyah) bertanya, “Wahai Rasulullah, adakah Tuan tidur sebelum sembahyang Witir?” Baginda SAW bersabda, “Wahai ‘Aisyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, sedang hatiku tidak tidur.”

Untuk menjelaskan itu, K.H. Siradjuddin Abbas berkata: “Sembahyang yang dikatakan oleh Ummul Mu’minin Siti ‘Aisyah yang bahwa Nabi Muhammad SAW tidak lebih dari mengerjakannya dari 11 rakaat itu ialah sembahyang Tahajjud malam hari dan Witir di belakangnya, bukan sembahyang Tarawih…”. (Dalam bukunya 40 Masalah Agama, 1/324)

KH Siradjuddin Abbas menyebutkan ketika Imam Bukhari ketika meletakkan hadits ‘Aisyah ini di dalam Shahihnya, ia menulis begini:

بَابُ قِيَامِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِاللَّيْلِ فِي رَمَضَانَ وَفِي غَيْرِهِ

“Bab pada menyatakan Qiyam Nabi SAW pada waktu malam pada bulan Ramadhan dan pada bulan selainnya.”

Oleh KH Siradjuddin Abbas, hal itu dikomentari demikian: “Ini petunjuk bahwa Imam Bukhari juga berpendapat bahwa sembahyang ini bukan Sembahyang Tarawih, tetapi Sembahyang Tahajjud Malam yang dikerjakan dalam bulan Ramadhan dan luar Ramadhan. Sedangkan shalat sunnah yang dikerjakan dimalam hari adalah 2 raka’at-2 raka’at sebagaimana hadist rasul saw :

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنىَ مَثْنىَ

“Sholat malam itu dilakukan dua rakaat dua rakaat.” Riwayat Al-Bukhari.

Pertanyaan besarnya, mengikuti pendapat siapakah orang-orang yang menjalankan rakaat tarawih hanya dengan 8 rakaat plus 3 rakaat witir?

Sejarah cikal bakal terbentuknya NU (hijrahnya Aswaja di Indonesia)


KH As’ad Syamsul Arifin adalah pelaku sejarah berdirinya NU, beliaulah yang menjadi media penghubung dari KH. Kholil Bangkalan yang memberi isyarat agar KH. Hasyim Asyari mendirikan Jam’iyah Ulama yang akhirnya bernama Nahdlatul Ulama. Pidato ini awalnya berbahasa Madura dan berikut adalah translit selengkapnya.

Assalamu’alaikum Wr. Wb. yang akan saya sampaikan pada Anda tidak bersifat nasehat atau pengarahan, tapi saya mau bercerita kepada Anda semua. Anda suka mendengarkan cerita? (Hadirin menjawab: Ya).

Kalau suka saya mau bercerita. Begini saudara-saudara. Tentunya yang hadir ini kebanyakan warga NU, ya? Ya? (Hadirin menjawab: Ya).

Kalau ada selain warga NU tidak apa-apa ikut mendengarkan. Cuma yang saya sampaikan ini tentang NU, Nahdlatul Ulama. Karena saya ini orang NU, tidak boleh berubah-ubah, sudah NU. Jadi saya mau bercerita kepada anda mengapa ada NU?

Tentunya muballigh-muballigh yang lain menceritakan isinya kitab. Kalau saya tidak. Sekarang saya ingin bercerita tentang kenapa ada NU di Indonesia, apa sebabnya? Tolong didengarkan ya, terutama para pengurus, Pengurus Cabang, MWC, Ranting, kenapa ada NU di Indonesia.

Begini, umat Islam di Indonesia ini mulai kira-kira 700 tahun dari sekarang, kurang lebih, para auliya', pelopor-pelopor Rasulullah Saw. ini yang masuk ke Indonesia membawa syariat Islam menurut aliran salah satu empat madzhab, yang empat. 

Jadi, ulama, para auliya', para pelopor Rasulullah Saw. masuk ke Indonesia pertama kali yang dibawa adalah Islam. Menurut orang sekarang Islam Ahlussunah wal Jama’ah, syariat Islam dari Rasulullah Saw. yang beraliran salah satu empat madzhab khususnya madzhab Syafi'i. Ini yang terbesar yang ada di Indonesia.

Madzhab-madzhab yang lain juga ada. Ini termasuk Islam Ahlussunah wal Jama’ah. Termasuk yang dibawa Walisongo, yang dibawa Sunan Ampel, termasuk Raden Asmoro ayahanda Sunan Ampel, termasuk Sunan Kalijogo, termasuk Sunan Gunung Jati. Semua ini adalah ulama-ulama pelopor yang masuk ke Indonesia, yang membawa syariat Islam Ahlussunah wal Jama’ah.

Kira-kira tahun 1920, waktu saya ada di Bangkalan (Madura), di pondok Kyai Kholil. Kira-kira tahun 1920, Kyai Muntaha Jengkebuan menantu Kyai Kholil, mengundang tamu para ulama dari seluruh Indonesia. Secara bersamaan tidak dengan berjanji datang bersama, sejumlah sekitar 66 ulama dari seluruh Indonesia.

Masing-masing ulama melaporkan: “Bagaimana Kyai Muntaha, tolong sampaikan kepada Kyai Kholil, saya tidak berani menyampaikannya. Ini semua sudah berniat untuk sowan kepada Hadhratus Syaikh. Ini tidak ada yang berani kalau bukan Anda yang menyampaikannya.”

Kyai Muntaha berkata: “Apa keperluannya?”

“Begini, sekarang ini mulai ada kelompok-kelompok yang sangat tidak senang dengan ulama Salaf, tidak senang dengan kitab-kitab ulama Salaf. Yang diikuti hanya al-Quran dan Hadits saja. Yang lain tidak perlu diikuti. Bagaimana pendapat pelopor-pelopor Walisongo karena ini yang sudah berjalan di Indonesia. Sebab rupanya kelompok ini melalui kekuasaan pemerintah Jajahan, Hindia Belanda. Tolong disampaikan pada Kyai Kholil.”

Sebelum para tamu sampai ke kediaman Kyai Kholil dan masih berada di Jengkuban, Kyai Kholil menyuruh Kyai Nasib: “Nasib, ke sini! Bilang kepada Muntaha, di al-Quran sudah ada, sudah cukup:

يُرِيدُونَ أَن يُطْفِؤُواْ نُورَ اللّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللّهُ إِلاَّ أَن يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ ﴿٣٢

Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayaNya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (QS. at-Taubat ayat 32)

Jadi kalau sudah dikehendaki oleh Allah Ta'ala, maka kehendakNya yang akan terjadi, tidak akan gagal. Bilang ya kepada Muntaha.”

Jadi para tamu belum sowan sudah dijawab oleh Kyai (Kholil). Ini karomah saudara, belum datang sudah dijawab keperluannya. Jadi para ulama tidak menyampaikan apa-apa, cuma bersalaman. “Saya puas sekarang” kata Kyai Muntaha. Jadi saya belum sowan, sudah dijawab hajat saya ini.

Tahun 1921-1922 ada musyawarah di Kawatan (Surabaya) di rumah Kyai Mas Alwi. Ulama-ulama berkumpul sebanyak 46, bukan 66. Tapi hanya seluruh Jawa, bermusyawarah termasuk Abah saya (KH. Syamsul Arifin), termasuk Kyai Sidogiri, termasuk Kyai Hasan almarhum, Genggong, membahas masalah ini.

Seperti apa, seperti apa? Dari Barat Kyai Asnawi Qudus, Ulama-ulama Jombang semua, Kyai Thohir. para Kyai berkata: “Tidak ada jadinya, tidak ada kesimpulan.” Sampai tahun 1923, kata Kyai satu: “Mendirikan Jamiyah (organisasi)”, kata yang lain: “Syarikat Islam ini saja diperkuat.” Kata yang lain: “Organisasi yang sudah ada saja.”

Belum ada NU. (Sementara) yang lain sudah merajalela. Tabarruk-tabarruk sudah tidak boleh. Orang minta berkah ke Ampel sudah tidak boleh. Minta syafaat ke nenek moyang sudah tidak boleh. Ini sudah tidak dikehendaki. Sudah ditolak semua oleh kelompok-kelompok tadi. Seperti apa bawaan ini.

Kemudian ada satu ulama yang matur (menghadap) sama Kyai: “Kyai, saya menemukan satu sejarah tulisan Sunan Ampel. Beliau menulis seperti ini (Kyai As'ad berkata: “Kalau tidak salah ini kertas tebal. Saya masih kanak-kanak. Belum dewasa hanya mendengarkan saja”): “Waktu saya (Sunan Ampel Raden Rahmatullah) mengaji ke paman saya di Madinah, saya pernah pernah bermimpi bertemu Rasulullah, seraya berkata kepada saya (Raden Rahmat): “Islam Ahlussunah wal Jama’ah ini bawa hijrah ke Indonesia. Karena di tempat kelahirannya ini sudah tidak mampu melaksanakan Syariat Islam Ahlussunah wal Jama’ah. Bawa ke Indonesia.”


Jadi di Arab sudah tidak mampu melaksanakan syariat Islam Ahlussunah wal Jama’ah. Pada zaman Maulana Ahmad, belum ada istilah Wahabi, belum ada istilah apa-apa. Ulama-ulama Indonesia ditugasi melakukan wasiat ini.

Kesimpulannya mari Istikharah. Jadi ulama berempat ini melakukannya. Ada yang ke Sunan Ampel. Ada yang ke Sunan Giri. Dan ke sunan-sunan yang lain. Paling tidak 40 hari. Ada 4 orang yang ditugasi ke Madinah.

Akhirnya, tahun 1923 semua berkumpul, sama-sama melaporkan. Hasil laporan ini tidak tahu siapa yang memegang. Apa Kyai Wahab, apa Kyai Bisri. Insya Allah ada laporan lengkapnya. Dulu saya pernah minta sama Gus Abdurrahman dan Gus Yusuf supaya dicari.

Sesudah tidak menemukan kesimpulan, tahun 1924, Kyai (Kholil) memanggil saya. Ya saya ini. Saya tidak bercerita orang lain. Saya sendiri. Saya dipanggil: “As'ad, ke sini kamu!”

Asalnya saya ini mengaji di pagi hari, dimarahi oleh kyai, karena saya tidak bisa mengucapkan huruf Ra'. Saya ini pelat (cadal). “Arrahman Arrahim…”

Kyai marah: “Bagaimana kamu membaca al-Quran kok seperti ini? Disengaja apa tidak?!”
.
“Saya tidak sengaja Kyai. Saya ini pelat.”

Kyai kemudian keluar (Kyai Kholil melakukan sesuatu). Kemudian esok harinya pelat saya ini hilang. Ini salah satu kekeramatan Kyai yang diberikan kepada saya.

Kedua, saya dipanggil lagi: “Mana yang cedal itu? Sudah sembuh cedalnya?”
“Sudah Kyai.”
“Ke sini. Besok kamu pergi ke Hasyim Asy’ari Jombang. Tahu rumahnya?”
“Tahu.”
“Kok tahu? Pernah mondok di sana?”
“Tidak. Pernah sowan.”
“Tongkat ini antarkan, berikan pada Hasyim. Ini tongkat kasihkan.”
“Ya, kyai.”
“Kamu punya uang?”
“Tidak punya, kyai.”
“Ini.

Saya diberikan uang Ringgit, uang perak yang bulat. Saya letakkan di kantong. Tidak saya pakai. Sampai sekarang masih ada. Tidak beranak, tapi berbuah (berkah). Beranaknya tidak ada. Kalau buahnya banyak. Saya simpan. Ini berkah. Ini buahnya.

Setelah keesokan harinya saya mau berangkat, saya dipanggil lagi: 
“Ke sini kamu! Ada ongkosnya?”
“Ada kyai.”
“Tidak makan kamu? Tidak merokok kamu? Kamu kan suka merokok?”

Saya dikasih lagi 1 Ringgit bulat. Saya simpan lagi. Saya sudah punya 5 Rupiah. Uang ini tidak saya apa-apakan. Masih ada sampai sekarang. Kyai keluar: “Ini (tongkat) kasihkan ya, (Kyai Kholil membaca QS. Thaha ayat 17-21):

وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى ﴿١٧﴾ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى ﴿١٨﴾ قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى ﴿١٩﴾ فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى ﴿٢٠﴾ قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى ﴿٢١

“Apakah itu yang di tangan kananmu hai Musa? Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula.”

Karena saya ini namanya masih muda. Masih gagah. Sekarang saja sudah keriput. Gagah pakai tongkat dilihat terus sama orang-orang. Kata orang Arab Ampel:

“Orang ini gila. Muda pegang tongkat.”

Ada yang lain bilang: “Ini wali.”

Wah macam-macam perkataan orang. Ada yang bilang gila, ada yang bilang wali. Saya tidak mau tahu, saya hanya disuruh Kyai. Wali atau tidak, gila atau tidak, terserah kamu.

Saya terus berjalan. Saya terus diolok-olok, gila. Karena masih muda pakai tongkat. Jadi perkataan orang tidak bisa diikuti. Rusak semua, yang menghina terlalu parah. Yang memuji juga keterlaluan. Wali itu, kok tahu? Jadi ini ujian. Saya diuji oleh Kyai. Saya terus jalan.

Sampai di Tebuireng, (Kyai Hasyim bertanya): 
“Siapa ini?”
“Saya, Kyai.”
“Anak mana?”
“Dari Madura, Kyai.”
“Siapa namanya?”
“As'ad.”
“Anaknya siapa?”
“Anaknya Maimunah dan Syamsul Arifin.”
“Anaknya Maimunah kamu?”
“Ya, Kyai”
“Keponakanku kamu, Nak. Ada apa?”
“Begini Kyai, saya disuruh Kyai (Kholil) untuk mengantar tongkat.”
“Tongkat apa?”
“Ini, Kyai.”
“Sebentar, sebentar…”
Ini orang yang sadar. Kyai ini pintar. Sadar, hadziq (cerdas). “Bagaimana ceritanya?”

Tongkat ini tidak langsung diambil. Tapi ditanya dulu mengapa saya diberi tongkat. Saya menyampaikan ayat:
وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَى ﴿١٧﴾ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى ﴿١٨﴾ قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوسَى ﴿١٩﴾ فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعَى ﴿٢٠﴾ قَالَ خُذْهَا وَلَا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الْأُولَى ﴿٢١

“Apakah itu yang di tangan kananmu hai Musa? Berkata Musa: “Ini adalah tongkatku, aku berpegangan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya.” Allah berfirman: “Lemparkanlah ia, hai Musa!” Lalu dilemparkannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Allah berfirman: “Peganglah ia dan jangan takut, Kami akan mengembalikannya kepada keadaannya semula.”

"Alhamdulillah, Nak. Saya ingin mendirikan Jam’iyah Ulama. Saya teruskan kalau begini. Tongkat ini tongkat Nabi Musa yang diberikan Kyai Kholil kepada saya.”

Inilah rencana mendirikan Jam’iyah Ulama. Belum ada Nahdlatul Ulama. Apa katanya? Saya belum pernah mendengar kabar berdirinya Jam’iyah Ulama. Saya tidak mengerti.

Setelah itu saya mau pulang. 
“Mau pulang kamu?”
“Ya, Kyai.”
“Cukup uang sakunya?”
“Cukup, Kyai.”
“Saya cukup didoakan saja, Kyai.”
“Ya, mari. Haturkan sama Kyai, bahwa rencana saya untuk mendirikan Jam’iyah Ulama akan diteruskan.”

Inilah asalnya Jam’iyatul Ulama.

Tahun 1924 akhir, saya dipanggil lagi oleh Kyai Kholil: 
“As'ad, ke sini! Kamu tidak lupa rumahnya Hasyim?”
“Tidak, Kyai.”
“Hasyim Asy'ari?”
“Ya, Kyai.”
“Di mana rumahnya.”
“Tebuireng.”
“Dari mana asalnya?”
“Dari Keras (Jombang). Putranya Kyai Asy’ari Keras.”
“Ya, benar. Di mana Keras?”
“Di baratnya Seblak.”
“Ya, kok tahu kamu?”
“Ya, Kyai.”
“Ini tasbih antarkan.”
“Ya, Kyai.”

Kemudian diberi uang 1 Ringgit dan rokok. Saya kumpulkan. Semuanya menjadi 3 Ringgit dengan yang dulu. Tidak ada yang saya pakai. Saya ingin tahu buahnya.

Terus, pagi hari Kyai keluar dari Langgar: 
“Ke sini, makan dulu!”
“Tidak, Kyai. Sudah minum wedang dan jajan,”
“Dari mana kamu dapat?”
“Saya beli di jalan, Kyai”
“Jangan membeli di jalan! Jangan makan di jalan! Santri kok makan di jalan?”
“Ya, Kyai.”
Saya makan di jalan dimarahami. Santri kok menjual harga dirinya? Akhirnya saya ditanya: “Cukup itu?”
“Cukup, Kyai.”
“Tidak!”

Diberi lagi oleh Kyai. Dikasih lagi 1 Ringgit. Saya simpan lagi. Kemudian tasbih itu dipegang ujungnya: “Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya Qahhar.” Jadi Ya Jabbar 1 kali putaran tasbih. Ya Qahhar 1 kali putaran tasbih. Saya disuruh dzikir.

“Ini.”

Disuruh ambil. Saya tengadahkan leher saya. “Kok leher?”
“Ya, Kyai. Tolong diletakkan di leher saya supaya tidak terjatuh.”
“Ya, kalau begitu.”

Jadi saya berkalung tasbih. Masih muda berkalung tasbih. Saya berjalan lagi, bertemu kembali dengan yang membicarakan saya dulu: “Ini orang yang megang tongkat itu? Wah.. Hadza majnun.” Ada yang bilang "wali", ya seperti tadi. Jadi saya tidak menjawab. Saya tidak bicara kalau belum bertemu Kyai. Saya berpuasa. Saya tidak bicara, tidak makan, tidak merokok, karena amanatnya Kyai. Saya tidak berani berbuat apa-apa. Sebagaimana kepada Rasulullah, ini kepada guru. Saya tidak berani. Saya berpuasa. Saya tidak makan, tidak minum tidak merokok. Tidak terpakai uang saya.

Ada yang narik: “Karcis! karcis!”

Saya tidak ditanya. Saya pikir ini karena tasbih dan tongkat. Saya pura-pura tidur karena tidak punya karcis. Jadi selama perjalanan 2 kali saya tidak pernah membeli karcis. Mungkin karena tidak melihat saya. Ini sudah jelas keramatnya Kyai. Jadi Auliya' itu punya karomah. Saya semakin yakin dengan karomah. Saya semakin yakin.

Saya lalu sampai di Tebuireng, Kyai (Hasyim) tanya: 
“Apa itu?”
“Saya mengantarkan tasbih.”
“Masya Allah, Masya Allah. Saya diperhatikan betul oleh guru saya. Mana tasbihnya?”
“Ini, Kyai.” (dengan menjulurkan leher).
“Lho?”
“Ini, Kyai. Tasbih ini dikalungkan oleh Kyai ke leher saya, sampai sekarang saya tidak memegangnya. Saya takut su'ul adab (tidak sopan) kepada guru. Sebab tasbih ini untuk Anda. Saya tidak akan berbuat apa-apa terhadap barang milik Anda.”

Kemudian diambil oleh Kyai: 
“Apa kata Kyai?”
“Ya Jabbar, Ya Jabbar, Ya Jabbar. Ya Qahhar, Ya Qahhar, Ya Qahhar.”
“Siapa yang berani pada NU akan hancur. Siapa yang berani pada ulama akan hancur.” Ini dawuhnya.

Pada tahun 1925, Kyai Kholil wafat tanggal 29 Ramadhan. Banyak orang berserakan. Akhirnya pada tahun 1926 bulan Rajab diresmikan Jam’iyatul Ulama. Ini sudah dibuat, organisasi sudah disusun. Termasuk yang menyusun adalah Kyai Dahlan dari Nganjuk, yang membuat anggaran dasar. Kemudian para ulama sidang lagi untuk mengutus kepada Gubernur Jenderal. Ya, seperti itulah yang dapat saya ceritakan.


Sumber: 
File rekaman diperoleh dari Gus Adib Mursyid, MAg. pada Jum’at 23 Maret 2012 di atas Kapal Lawit (Pelni). Dialihbahasakan oleh Moh. Ma'ruf Khozin dan diedit ulang oleh Sya’roni As-Samfuriy, Tegal 18 Februari 2013.



Biografi singkat K.H.Raden As'ad Samsul Arifin

As'ad Samsul Arifin

As'ad Samsul Arifin atau dikenal dengan sebutan Kiai Haji Raden As'ad Samsul Arifin (lahir pada tahun 1897 di Mekah - meninggal 4 Agustus 1990 di Situbondo pada umur 93 tahun) adalah pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah di Desa Sukorejo, Kabupaten Situbondo. Ia adalah ulama besar sekaligus tokoh dari Nahdlatul Ulama dengan jabatan terakhir sebagai Dewan Penasihat (Musytasar) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama hingga akhir hayatnya. Ia adalah penyampai pesan (Isyarah) yang berupa tongkat disertai ayat al-Qur'an dari K.H. Kholil Bangkalan untuk K.H. Hasyim Asy'ari, yang merupakan cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama.

Riwayat Hidup

Kehidupan awal

Kiai As'ad adalah anak pertama dari pasangan Raden Ibrahim dan Siti Maimunah, keduanya berasal dari Pamekasan, Madura. Ia mempunyai adik bernama Abdurrahman. Ia dilahirkan di perkampungan Syi'ib Ali, dekat Masjidil Haram, Mekah, ketika kedua orang tuanya menunaikan ibadah haji dan bermukim di sana untuk memperdalam ilmu-ilmu keislaman.  Kiai As'ad masih memiliki darah bangsawan dari kedua orang tuanya. Ayahnya, Raden Ibrahim (yang kemudian lebih dikenal dengan nama K.H. Syamsul Arifin) adalah keturunan Sunan Ampel dari jalur sang ayah.  Sedangkan dari pihak ibu masih memiliki garis keturunan dari Pangeran Ketandur, cucu Sunan Kudus. 
Pada usia enam tahun, Kiai As'ad dibawa orang tuanya pulang ke Pamekasan dan tinggal di Pondok Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan, Madura.  Sedangkan adiknya, Abdurrahman, yang masih berusia empat tahun dititipkan kepada Nyai Salhah, saudara sepupu ibunya yang masih bermukim di Mekah.  Setelah lima tahun tinggal di Pamekasan, Kiai As'ad diajak ayahnya untuk pindah ke Asembagus, Situbondo, yang pada saat itu masih berupa hutan belantara yang terkenal angker dan dihuni oleh banyak binatang buas dan makhluk halus..  Kiai As'ad diajak ayahnya pindah ke pulau Jawa untuk menyebarkan agama Islam di sana. 

Pendidikan 

Sebagai anak seorang ulama, sejak kecil Kiai As'ad sudah mendapat pendidikan agama yang diajarkan langsung oleh ayahnya. Setelah beranjak remaja, ia dikirim ayahnya untuk belajar di Pondok Pesantren Banyuanyar, Pamekasan, sebuah pesantren tua yang didirikan oleh K.H. Itsbat Hasan pada tahun 1785 Di Pondok Pesantren tersebut, Kiai As'ad diasuh oleh K.H. Abdul Majid dan K.H. Abdul Hamid, keturunan dari K.H. Itsbat. 
Setelah tiga tahun belajar di Pesantren Banyuanyar (1910-1913), ia kemudian dikirimkan ayahnya ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan melanjutkan belajarnya di sana. Di Mekah, ia masuk ke Madrasah Shalatiyah, sebuah madrasah yang sebagian besar murid dan guru-gurunya berasal dari al-Jawi (Melayu). Ia belajar ilmu-ilmu keislaman kepada ulama-ulama terkenal, baik yang berasal dari al-Jawi (Melayu) maupun dari Timur Tengah. 
Di antara guru-guru Kiai As'ad ketika belajar di Mekah antara lain: 
  • Syeikh Abbas al-Maliki
  • Syeikh Hasan al-Yamani
  • Syeikh Muhammad Amin al-Quthbi
  • Syeikh Hasan al-Massad
  • Syeikh Bakir (K.H. Bakir asal Yogyakarta)
  • Syeikh Syarif as-Sinqithi
Setelah beberapa tahun belajar di Mekah, Kiai As'ad kemudian pulang ke Indonesia. Setelah sampai di kampungnya, ia tidak langsung mengajar di pesantren ayahnya, Kiai As'ad memutuskan untuk memperdalam ilmunya dan melanjutkan belajarnya.  Ia pergi ke berbagai pesantren dan singgah dari pesantren satu ke pesantren lain, baik untuk belajar maupun hanya untuk ngalaf barakah (mengharap berkah) dari para kiai. 

Mengasuh Pesantren

Pada tahun 1908, setelah pindah ke Situbondo, Kiai As'ad dan ayahnya beserta para santri yang ikut datang dari Madura membabat alas (menebang hutan) di Dusun Sukorejo untuk didirikan pesantren dan perkampungan. Pemilihan tempat tersebut atas saran dua ulama terkemuka asal Semarang, Habib Hasan Musawa dan Kiai Asadullah.

Usaha Kiai As'ad dan ayahnya tersebut akhirnya terwujud. Sebuah pesantren kecil yang hanya terdiri dari beberapa gubuk kecil, mushala, dan asrama santri yang saat itu masih dihuni beberapa orang saja.
Sejak tahun 1914, pesantren tersebut berkembang bersamaan dengan datangnya para santri dari berbagai daerah sekitar. Pesantren tersebutlah yang akhirnya dikenal dengan nama Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah.
Setelah K.H. Samsul Arifin meninggal pada tahun 1951, pondok pesantren tersebut ganti diasuh oleh Kiai As'ad. Di bawah kepemimpinan Kiai As'ad, Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah berkembang semakin pesat, dengan bertambahnya santri hingga mencapai ribuan. Kemudian, lembaga pendidikan dari pesantren tersebut akhirnya semakin diperluas, tanpa meninggalkan sistem lama yang menunjukkan ciri khas pesantren. Pesantren tersebut mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah, kemudian didirikan pula sekolah umum seperti SMP, SMA, dan SMEA.

Wasiat kepada para santrinya 

Meskipun Kiai As'ad telah meninggal, namun dawuh (nasihat) maupun perkataannya masih melekat dan diikuti oleh para santri dan pecintanya. Di antara wasiat (pesan) Kiai As'ad yang pernah ia sampaikan kepada para santrinya ialah:
  1. Santri Sukorejo yang keluar dari NU (Nahdlatul Ulama), jangan berharap berkumpul dengan saya di akhirat.
  2. Santri saya yang pendiriannya tidak dengan saya, saya tidak bertanggung jawab di hadirat Allah SWT (Subhanahu Wa Ta'ala).
  3. Santri saya yang pulang atau berhenti harus ikut mengurusi dan memikirkan paling tidak salah satu dari tiga hal, yakni: Pendidikan Islam, dakwah melalui NU dan ekonomi masyarakat.
  4. Istiqamah (terus menerus) membaca Ratibul Haddad.
  5. Santri saya sebenarnya umum, anak siapa saja, dalam keadaan bagaimana saja, pasti selamat dan jaya asal jujur, giat dan ikhlas.

    Popular Posts

    Diberdayakan oleh Blogger.

    Followers

    Page views