Senin, 25 April 2016

Pak Rosyid

Pagi itu sehabis ngaji subuh aku bergegas ke belakang pondok, aku ingin mengulang kembali hafalan Alfiyahku agar bisa mengikuti lomba hafalan Alfiyah yang di selenggarakan oleh sekolahku. Hari itu memang di sekolah sedang di adakan banyak perlombaan yang di antaranya akan aku ikutu, yaitu lomba hafalan Alfiyah dan baca kitab kuning.

Alfiyah adalah kitab ilmu tata bahasa Arab atau biasa di sebut dengan ilmu nahwu, yang berisi bait-bait nadhom yang di lagukan agar mempermudah menghafalnya, sudah menjadi tradisi pondok pesantren kitab Alfiyah ini di hafalkan, bahkan ada yang mewajibkannya syarat kenaikan kelas.

Setelah yaqin dengan hafalanku, aku lantas berangkat ke sekolah dan kemudian mengikuti lomba, tak di sangka dan tak ku kira aku memenangkan lomba hafalan Alfiyah ini, teknis lombanya tiap peserta lomba di beri waktu 5 menit untuk setor hafalan, hafalan yang di baca harus jelas dan bisa di dengar, pemenangnya adalah yang setor paling banyak, jadi akulah pemenangnya, hal ini membuatku bangga dan mungkin bisa di bilang sedikit sombong.

Pulang dari sekolah aku melewati lapangan dekat pondok, di situ ada teman-temanku mondok yang lebih senior sedang duduk-duduk mengobrol dengan Pak Rosyid, seorang pengembala kambing yang umurnya sekitar 50-an tahun. Beliau memang biasa mengembalakan kambing di lapangan dekat pondokku, setelah mendekat dan aku nimbrung-nimbrung aku kaget bercampur takjub, Pak Rosyid menjelaskan pembahasan Alfiyah kepada teman-teman seniorku dengan sangat fasih, sangat jelas dan sangat indah.

Beliau seperti hanya sedang mendongeng, sangat ringan seperti hafal di luar kepala dan hebatnya lagi, beliau tanpa membawa kitab akan tetapi seolaolah kitab bertumpuk-tumpuk berada di hadapannya, penjelasannya mengenai syarah dan mengkombinasikannya dengan syarah dari kitab lain kemudian di komparasikan membuat beliau seperti seorang guru besar sekelas profesor, yang lebih membuat teman-temanku manggut-manggut, padahal bahasa-bahasa yang keluar dari beliaumeluncur begitu saja seperti tanpa beban dan tanpa arahan.

Subhanalloh... Begitulah berkali-kali hatiku berucap lirih, takjub dengan apa yang ada di depan mataku, kemudian lambat laun berganti dengan Astaghfirullohal Adzim... Aku teringat dengan perasaan sedikit sombong yang menghinggap di hatiku saat memenangkan lomba hafalan Alfiyah dan Alhamdulillah... Hatiku berucap syukur kepada  Alloh SWT yang memberikan hidayahnya dengan penyadaranku bahwa "DI ATAS LANGIT MASIH ADA LANGIT".


Cerpen by Muhammad Baha'uddin
Kajen, 1995

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Followers

Page views